Dialog Nasional #1 : Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia

7 March 2018

Dialog Nasional #1 : Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia

Rajawali Foundation

Rajawali Foundation bersama Pusat Transformasi Kebijakan Publik Indonesia (TRANSFORMASI) melalui proyek inisiatif kerjasama USAID – Mitra Kunci SINERGI, menyelenggarakan acara “Dialog Nasional Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia” pada hari Rabu, 7 Maret 2018 di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Acara yang didukung oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, dan Kementerian PPN/Bappenas ini mengangkat tema “SINERGI untuk Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia”.

Dialog Nasional ini diselenggarakan untuk mempertemukan pihak-pihak kunci dan pemangku kepentingan pada ranah ketenagakerjaan di Indonesia, yakni sektor publik dan swasta, institusi pelatihan, organisasi kemasyarakatan, dan kaum muda. Tujuannya untuk membahas situasi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, terutama terkait isu-isu pengembangan angkatan kerja inklusif bagi kaum muda yang kurang mampu dan rentan.

Agung Binantoro, Direktur Rajawali Foundation sekaligus Project Director SINERGI menjelaskan, tujuan dibentuknya dialog nasional ini adalah untuk memfasilitasi peningkatkan kualitas koordinasi kebijakan ketenagakerjaan inklusif antarpemangku kepentingan.

“Dengan diselenggarakan Dialog Nasional ini akan meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya mengenai isu ketenagakerjaan inklusif, dan bersama-sama mengidentifikasi isu-isu strategis pembangunan ketenagakerjaan inklusif,” kata Agung.

Dialog yang di moderasi oleh Intan Bedisa, Presenter Rajawali Televisi, kali ini melibatkan pihak swasta, pihak organisasi kemasyarakatan, dan pihak pemuda yang di wakili oleh Ariavita Purnamasari, Corporate Communication Director General Electric Indonesia; Anne Patricia Sutanto, Vice Ceo Pt. Pan Brothers Tbk; Mario Montino, Group Coo Ycab Foundation; dan Sanita Rini, Youth Coalition For Girl Plan International.     

Lewat dialog ini, beberapa masalah terkait ketenagakerjaan teridentifikasi lewat perwakilan kaum muda, seperti yang dijabarkan oleh Sanita Rini, “Para pemuda dari golongan Poor & Vurnerable (P&V) masih kesulitan mendapatkan akses informasi mengenai lowongan pekerjaan, kesempatan mengikuti pelatihan, apalagi mengharapkan mendapatkan sertifikasi keterampilan. Hal ini menyebabkan para P&V Youth memilih shortcut untuk bekerja di sektor informal yang mudah mendatangkan instant money.”

Sementara itu dari perspektif pihak swasta, menyebutkan bahwa, “masalah ketenagakerjaan di Indonesia bukan terkait infrastruktur, atau capital, tetapi cenderung ke permasalahan mindset yang mudah nyaman pada comfort zone dan tidak ambisius untuk terus berkembang,” ujar Anne Patricia.

Mindset dan Cultural Issue, memang banyak ditemukan pada program pengembangan human resource di perusahaan. Orang Indonesia cenderung tidak vocal dan pasif dalam menyuarakan pendapat, dan ini merupakan hambatan terbesar bangsa untuk bisa maju dan berkompetisi di level global. Maka dari itu pengembangan softskill seperti leaderships dan capacity building dirasa perlu  untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten,” tambah Ariavita Purnamasari.

Hal yang serupa pun disuarakan oleh organisasi masyarakat, berikut upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, “dibutuhkan lebih dari sekedar pelatihan hardskill, sertifikasi, dan vocational training untuk menjembatani kehidupan saat sekolah dan saat memasuki dunia kerja, yakni soft skill, life skill, dan yang paling penting adalah determinasi atau kemauan individual tersebut untuk bekerja. Menyikapi hal ini, YCAB menerapkan pendekatan holistic dan terintegrasi yang melibatkan sosialisasi dan pendampingan tentang ketenagakerjaan professional tidak hanya pada calon pekerja, tetapi juga menyentuh microsystem mereka, yakitu keluarga, sekolah, lingkungan sosial lewat center of change,” papar Mario Montino.

Pada kesempatan yang sama Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan upaya-uapay pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja industri yang kompeten dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pendidikan vokasi industri yang sesuai (link and match) dengan industri dual sistem, pembangungan politeknik atau akademi komunitas di kawasan industri, dan pembangunan keterikatan yang sesuai antara Sekolah Menengah Kejuruan dan industri. Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan dengan sistem 3 dalam 1 dan sertifikasi kompetensi.

“Dalam tiga tahun ini, pemerintah akan targetkan ada satu juta tenaga kerja yang bersertifikasi kompeten. Dari satu juta ini lebih berbasis pada sekolah menengah ataupun SMK. Saat ini, kita punya banyak lulusan SMK dan sekitar 40 persen mengangur. Kita harus potong (pengangguran) dengan link and match ini,” ujarnya.

Mengakhiri acara dialog nasional ini, Ir. Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menkonklusikan dialog dengan memberikan catatan, “Indonesia merupakan negara majemuk yang kaya akan perbedaan, maka dari itu, langkah terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Indonesia adalah dengan menghargai the beauty of its impercetion dan mengembangkan inisiatif berbasis pluralisme di Indonesia. Lewat pemahaman no one gets left behind, ketenagakerjaan inklusif yang kompeten bukan hal yang tidak mungkin tercapai.”